Tuesday, April 22, 2014

MedanBisnis - Medan. Harga karet di bursa berjangka karet Singapura (TSR20) terus tertekan dalam beberapa bulan terakhir. Tak tanggung-tanggung, pada perdagangan Senin (21/4) siang, harga karet terjun bebas ke level US$1,66 per kg, turun sekira 11,5 sen Amerika dari posisi penutupan perdagangan 16 April yang menyentuh angka US$1,8 per kg.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah, mengatakan, melemahnya pasar saham Asia otomatis menekan harga karet di pasar global. "Bahkan dalam dua pekan terakhir, harga karet di bursa Singapura terus menunjukkan tren penurunan," katanya kepada MedanBisnis, Senin (21/4).

Dia mengatakan, seyogianya pada kondisi produksi kebun sangat rendah seperti saat ini, seharusnya harga karet naik. Tapi kenyataannya harga komoditas ini terus anjlok bahkan menyentuh angka terendah sejak Februari 2011 dimana harga spot untuk SICOM-TSR20 tercatat 5,75 dolar Amerika per kg.

Padahal, kata dia, saat ini negara-negara Asia Tenggara sebagai produsen karet sedang mengalami kekeringan yang mengakibatkan produksi menurun. Secara ekonomi, dengan kondisi seperti itu seharusnya harga karet akan naik meski permintaan stagnan.

"Selain itu, pada saat harga minyak mentah meningkat, harga karet alam pun biasanya ikut naik. Tapi harga minyak untuk jenis WTI sudah di atas US$104 per barrel justru harga karet semakin turun. Memang permintaan dari negara-negara konsumen utama boleh dikatakan stagnan, tapi harga terus turun sejak Februari 2011," ungkapnya.

Pemberitaan adanya kelebihan pasokan di Thailand tidak dapat dipastikan kebenarannya, produksi akan menurun akibat fenomena El-Nino yang sedang melanda Asia Tenggara yang mengakibatkan kekeringan akan tetap melanda pada akhir Mei hingga Juli. "Semua ini hanya permainan dari spekulan di pasar yang ingin mencari keuntungan. Untuk itu, saat ini kami memilih untuk memangkas produksi agar tak merugi hingga harga kembali stabil," katanya.

Seperti diketahui, sejak awal tahun harga karet masih bermain pada angka US$1,7 hingga US$1,9 per kg. Angka tersebut terus mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir dan sulit menembus level US$2,5 per kg yang merupakan harga normal. Akibatnya nilai ekspor karet Sumut pun terus tertekan.

Berdasarkan Surat Keterangan Asal (SKA) Disperindag Sumut, nilai ekspor karet Sumut pada triwulan I tahun ini anjlok 19,9% menjadi US$138,5 juta dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar US$173,06 juta. "Harga karet masih rendah, permintaan juga rendah akibat krisis global di Amerika dan Eropa sehingga kinerja ekspor kita tertekan," kata Kepala Seksi Ekspor Hasil Pertanian dan Pertambangan Disperindag Sumut, Fitra Kurnia.

Di Tapteng Rp 5.000/kg
Sementara harga getah karet alam di tingkat petani di Kabupaten Tapanuli Tengah juga terus merosot menjadi Rp 5.000/kg, padahal pada pertengahan Maret 2014 sempat bertahan di Rp 10.500/kg.

"Harga karet terendah di Tapteng terdapat di Kecamatan Barus. Mutu dan kualitas getah karet yang dihasilkan petani di kawasan itu sangat rendah dibanding beberapa kecamatan lainnya. Untuk saat ini, harga jual tertinggi berkisar antara Rp 5.000-Rp 5.500/kg," ungkap Rahman Sitompul, toke getah sekaligus pekebun karet di Tapteng.

Menurutnya, harga tebus tertinggi karet alam ada di Kecamatan Pinangsori mencapai Rp8.500/kg karena dikenal memiliki kualitas terbaik di Tapteng, disusul Kecamatan Tukka, Sibabangun, Badiri dan lainnya. "Ironis, kurun waktu sepekan terakhir, harga notering karet di pabrikan di Kota Medan mengalami fluktuasi. Barusan saya ditelepon relasi bisnis dari Medan, sore hari ini, notering karet di Medan mengalami pergerakan turun dari Rp 18.300/kg menjadi Rp 17.300/kg," bebernya.

Rahman menjelaskan fluktuasi harga karet alam yang cenderung melemah tentunya berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat petani. "Sejumlah petani mengeluh, ingin beralih pekerjaan demi memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak mereka. Kita prihatin melihat kondisi petani ini, terlebih terhadap mereka yang berprofesi sebagai buruh deres," terangnya. (daniel pekuwali/juniwan) 

No comments:

Post a Comment